huft

Saya terlahir dari keluarga kelas menengah, anak terakhir dari 5 bersaudara. Sebagai bungsu saya sangat dimanjakan, tidak pernah dipukul dan tidak pernah dibentak dengan kekerasan. Menjadi anak terakhir sangat diuntungkan karna segala kebutuhannya terpenuhi,walaupun kebanyakan setiap yang diberikan adalah peninggalan barang bekas saudara yang lebih tua.

 Menjadi bungsu di versi keluarga saya sangatlah nyaman,banyak yang saya dapatkan layaknya saya seorang raja. Dari handphone kelas atas peninggalan hadiah ulang tahun kaka, tiket trip ke bali hadiah dari suami kaka saya dan juga yang sangat bermanfaat bagi saya adalah tunjangan kartu kredit yang hanya saya rasakan sebulan lamanya.

 Namun nyatanya rasa syukur saya belum sepenuhnya saya panjatkan, banyak keluhan yang saya kesalkan karna saya tidak merasa adil. Saya selalu diberikan barang rusak, dijanjikan sesuatu yang tak pernah terwujud dan yang sangat saya kesalkan dan ingin menyudahi adalah menjaga anak anak mereka. Saya lakukan semuanya sedari saya masuk jenjang smp, melakukan yang diperintahkan dengan imingan kuliah dan pekerjaan di masa mendatang. Sepenuh hati saya merawat adik saya agar kelak setelah lulus sma orang tua saya yang sudah berusia lanjut tak lagi menanggung beban untuk tunjangan saya.

 Nyatanya sampai sekarang semua yang dijanjikan tak pernah terwujud, saya rela menanggung malu duduk diruang komputer sendirian karna tak memiliki spesifikasi laptop yang cukup untuk ujian. Bahkan saya pernah membuat ibu saya menangis hanya karna saya tak bisa mengikuti ujian karna saya tak memiliki laptop. Janji kakak saya sama sekali tak pernah terwujud, saya termasuk orang yang tak pernah meminta sesuatu terhadap keluarga dan saya rasa ketika saya meminta itu adalah hal yang mampu keluarga saya berikan, namun nyatanya tidak. Saya selalu di anak tirikan, kebutuhan anak terakhir bisa diartikan kebutuhan akhir yang bisa dipenuhi. Mereka lebih memilih mementingkan kebutuhan yang paling tua agar kelak ia bisa menunjang kebutuhan adiknya yang lebih muda.

 Namun nyatanya sekarang, mereka yang sudah sukses sama sekali lupa dengan keluarga, hanya mementingkan nama dan mengobral cerita bahwa mereka telah sukses dan mampu menjalani kehidupan yang baru. Gaji kakak saya rata rata 10 juta perbulan, belum lagi ditambah pemasukan uang dari suami, bisa dikatakan memenuhi kebutuhan kecil seorang adiknya saja enggan untuk mengeluarkan serupiah pun.

 Dari dulu saya muak dengan janji seorang kakak, saya menabung untuk membeli sepatu sekolah baru, saya berusaha keras membeli sepatu olahraga dan saya adalah anak yang dikenal memakai seragam paling terakhir. Di masa smp, setelah 3 bulan saya baru bisa membeli seragam batik,olahraga dan pakain muslim. Begitupun di masa sma, saya baru bisa merasakan seragam batik,olahraga dan baju muslim di bulan kedua.

 Saya terus berusaha menabung, sedangkan kakak saya hanya terus menunjang saya untuk menaikan martabat dirinya. Saya dibelikan sesuatu yang hanya bersifat sementara, tas baju dan celana semua terkesan mewah namun itu hanya barang yang dipinjamkan. Setelah ia selesai memberitahu suami atau rekannya bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan saya, dia menarik kembali barang yang diberikan dan ia jual untuk menghasilkan uang untuk kepentingan sendiri.

 Sebenarnya saya tak pernah memikirkan menulis ini, namun saya merasa kesal ketika saya dilarang untuk bekerja di pabrik. Saya dilarang hanya untuk menjaga citranya, sedangkan disini saya tak bisa merasakan bentuk kepuasan. Saya tak bisa hanya melihat rekan saya liburan dengan tenang, saya tak bisa melihat rekan saya jajan sesuka hatinya dan saya tak bisa berdiam diri dirumah hanya karna saya terhimpit tanggung jawab saya terhadap anaknya. Saya merasa kesal karna tak ada yang bisa saya lakukan selama ini, saya merasa kecewa terhadap diri saya karna saya tidak mau berusaha.
Saya hanya bisa mengeluh terhadap kondisi dan terus menyalahkan saudara saya, seharusnya saya tahu diri dan bersyukur atas apa yang sudah diberikan.

Komentar

Postingan Populer